Di balik pemandangan sawah hijau yang membentang, tersimpan kisah sedih tentang hilangnya kekayaan benih lokal di tangan sistem pertanian modern. Revolusi Hijau, yang dimulai pada pertengahan abad ke-20, diakui sebagai tonggak perubahan besar dalam dunia pertanian. Dengan menjanjikan hasil panen yang melimpah melalui penggunaan benih hibrida, pupuk kimia, dan pestisida, Revolusi Hijau seolah menjadi jawaban atas kelaparan dan keterbelakangan. Namun, di balik sukses besar ini, tersembunyi dampak yang tidak selalu disadari oleh banyak orang, terutama terkait dengan nasib petani kecil dan keanekaragaman hayati pertanian.
Sebelum Revolusi Hijau, petani tradisional mengandalkan
kearifan lokal dalam mengolah tanah dan memilih benih. Setiap daerah di
Nusantara memiliki kekayaan benih yang beragam, sesuai dengan kondisi iklim,
tanah, dan budaya lokal. Misalnya, beras Cianjur dari Jawa Barat, jagung pulut
dari Sulawesi, atau padi gogo dari daerah pegunungan, semuanya adalah hasil
dari adaptasi alamiah yang berlangsung selama ribuan tahun.
Namun, masuknya benih hibrida yang didorong oleh perusahaan
agribisnis multinasional mulai menggusur benih-benih lokal ini. Para petani
diajak atau bahkan dipaksa untuk menggunakan benih baru yang diklaim lebih
produktif, namun sayangnya, benih ini tidak bisa ditanam ulang. Petani harus
terus membeli benih baru setiap musim tanam dari perusahaan, alih-alih
menyimpan benih hasil panennya sendiri seperti yang dilakukan selama ini. Dalam
beberapa dekade, keanekaragaman benih lokal pun mulai punah.
Bagi petani kecil, ketergantungan pada benih komersial bukan
hanya menghancurkan otonomi mereka, tetapi juga membahayakan kelangsungan hidup
mereka. Jika dulu mereka bisa menjaga siklus pertanian yang mandiri dengan
menyimpan dan menanam kembali benih hasil panen, sekarang mereka harus
mengeluarkan uang setiap tahun untuk membeli benih baru. Ketergantungan ini
membuat posisi mereka semakin lemah di tengah tekanan pasar yang semakin
kompetitif.
Selain menurunkan keanekaragaman genetik, hilangnya benih
lokal juga membawa dampak ekologis yang serius. Benih-benih hibrida yang
dipromosikan oleh perusahaan agribisnis dirancang untuk menghasilkan panen yang
melimpah, tetapi seringkali membutuhkan input kimia seperti pupuk dan pestisida
yang tinggi. Penggunaan bahan kimia ini, meskipun pada awalnya meningkatkan
produktivitas, dalam jangka panjang menyebabkan degradasi tanah, pencemaran
air, serta hilangnya keseimbangan ekosistem lokal.
Contoh nyata dari dampak ini dapat dilihat di berbagai wilayah
yang mengadopsi model pertanian intensif. Tanah yang terus-menerus dipaksa
menghasilkan panen maksimal dengan bantuan pupuk kimia akhirnya menjadi tandus.
Kesehatan tanah menurun, organisme mikroba yang penting bagi kesuburan tanah
mati, dan pada akhirnya, produktivitas pertanian pun mulai menurun. Selain itu,
pestisida yang digunakan dalam jumlah besar tidak hanya membunuh hama, tetapi
juga merusak populasi serangga bermanfaat seperti lebah yang berperan penting
dalam penyerbukan tanaman.
Dampak sosial dari hilangnya benih lokal juga tidak kalah
signifikan. Petani yang dulunya berdaulat atas pertaniannya sendiri kini
semakin bergantung pada perusahaan-perusahaan besar yang mengendalikan pasokan
benih, pupuk, dan pestisida. Mereka kehilangan kebebasan dalam menentukan cara
bertani yang sesuai dengan kondisi lokal dan kearifan budaya mereka. Tak hanya
itu, banyak petani yang terlilit utang akibat biaya tinggi untuk membeli input
pertanian tersebut, membuat mereka rentan terhadap kemiskinan.
Namun, di tengah tekanan ini, muncul gerakan-gerakan di
berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, yang berusaha menyelamatkan benih
lokal dan mengembalikan kedaulatan petani atas pertanian mereka sendiri.
Gerakan ini berfokus pada pelestarian keanekaragaman benih melalui bank benih
lokal, pertanian organik, dan metode bercocok tanam yang ramah lingkungan.
Keberagaman benih lokal bukan sekadar warisan budaya yang
harus dilestarikan. Lebih dari itu, benih-benih ini memainkan peran kunci dalam
menjaga ketahanan pangan di tengah perubahan iklim yang semakin tidak menentu.
Berbeda dengan benih hibrida yang dirancang untuk kondisi lingkungan yang
stabil, benih lokal telah beradaptasi secara alami dengan kondisi setempat
selama bertahun-tahun. Kemampuan adaptasi inilah yang membuat benih lokal lebih
tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem, serangan hama, dan penyakit.
Ketahanan terhadap iklim yang berubah-ubah ini menjadi semakin
penting, terutama ketika petani dihadapkan pada ancaman seperti kekeringan yang
semakin sering terjadi. Penggunaan benih lokal dapat membantu menjaga
keberlanjutan pertanian, terutama bagi petani kecil yang sering kali menjadi
yang paling terdampak oleh krisis iklim.
Masa depan pertanian kita bergantung pada keberanian untuk
kembali kepada kearifan lokal dan melepaskan diri dari ketergantungan pada model
pertanian yang merusak. Pertanian berbasis keanekaragaman hayati dan benih
lokal bukanlah langkah mundur, melainkan sebuah loncatan menuju masa depan yang
lebih berkelanjutan dan adil.
Petani kecil, yang selama ini menjadi korban dari Revolusi
Hijau, harus mendapatkan tempat di garis depan perjuangan untuk memulihkan
ekosistem pertanian yang sehat. Dengan menjaga, menyilangkan, dan membagikan
benih lokal, mereka tidak hanya melestarikan kekayaan hayati, tetapi juga
memperjuangkan kedaulatan pangan yang sesungguhnya.
Benih-benih yang hilang memang sulit untuk dipulihkan, tetapi
gerakan yang semakin tumbuh ini memberi harapan bahwa pertanian kita dapat
kembali mandiri, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Dalam benih-benih lokal
yang kita jaga, tersemai masa depan yang lebih hijau bagi generasi mendatang.
