Ahli biologi Belanda, C.J. Briejer, yang mengabdikan dirinya untuk mengamati kehidupan spesies serangga, menjelaskan bahwa “dunia serangga adalah fenomena alam yang sangat menakjubkan.
Baginya,
“tidak ada yang tidak mungkin, hal-hal yang paling mustahil pun dapat terjadi
di sana. Siapa yang menembus dalam-dalam, memasuki rahasia-rahasianya akan
terus-menerus menahan nafas penuh ketakjuban. Ia mengetahui, bahwa segala
sesuatu dapat terjadi dan yang sama sekali tidak mungkin pun sering terjadi”.
Jika C.J. Briejer, menyampaikan rasa takjubnya ketika mengamati
dunia serangga dan menemukan rahasia yang tersembunyi dibalik kerajaan
serangga. Edwar O. Wilson, pakar biologi dari Amerika Serikat, setelah sekian
lama mengamati tentang serangga, menyimpulkan bahwa “jika manusia tiba-tiba
menghilang dari muka bumi, maka bumi akan kembali ke kesetimbangan semarak yang
ada 10.000 tahun lalu. Namun, ketika serangga yang menghilang, maka lingkungan
hidup akan mengalami kekacauan”.
Berdasarkan
pendapat dua pakar biologi yang sama-sama mengamati tentang fenomena serangga
tersebut, kiranya dapat memberikan gambaran pada kita bahwa serangga ternyata
memiliki peran yang sangat vital dalam mendukung keberlangsungan kehidupan
seluruh mahluk hidup di muka bumi. Sehingga wajar saja oleh para pakar,
serangga disebut sebagai suatu kerajaan yang mempertontonkan sebuah fenomena
alam yang sangat menakjubkan. Di samping itu, tanpa serangga lingkungan hidup
akan mengalami kekacauan.
Baca juga : Menghadirkan Serangga ke Meja Makan
Keberadaan serangga dapat digunakan sebagai indikator keseimbangan ekosistem.
Apabila di dalam ekosistem tersebut keanekaragaman serangga tinggi, maka dapat
dikatakan lingkungan ekosistem tersebut seimbang atau stabil. Keanekaragaman
serangga yang tinggi akan menyebabkan proses jaring-jaring makanan berjalan secara
normal, begitu pula sebaliknya apabila di dalam ekosistem keanekaragaman
serangga rendah maka lingkungan ekosistem tersebut tidak seimbang dan stabil.
Tetapi,
untuk memahami peran penting serangga sebagai hewan yang memiliki peran vital
tersebut, tentunya kita perlu memahami sistem kehidupan secara keseluruhan.
Karena bagaimana pun juga, sejarah kehidupan di bumi merupakan sejarah
interaksi antara mahluk hidup dan lingkungannya. Bentuk fisik, kebiasaan
tumbuh-tumbuhan, dan kehidupan hewannya tidak terlepas dan dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Seperti dibahasakan oleh Harold Morowitz, “tidak satu pun
organisme yang bertahan hidup dalam kondisi terisolasi”.
Dengan demikian, keberadaan serangga dengan ukuran sangat kecil
sekalipun, merupakan sebuah komunitas yang patutnya diperhitungkan, serangga
banyak sekali melakukan pekerjaan untuk menopang keberlangsungan kehidupan di
bumi. Tetapi, dari sekian banyak kontribusi serangga tersebut tidak diketahui
oleh manusia. Jika ditelusuri lebih dalam, sekian banyak tanaman berbunga
mengandalkan penyerbukan serangga. Selain itu, serangga merupakan penyebar
benih yang sangat penting, juga sebagai pengurai yang membuat roda kehidupan
terus berputar.
Serangga telah memainkan peran penting dalam rantai makanan, proses
penyerbukan, dan daur ulang nutrisi lingkungan. Jika serangga punah, maka akan
berpengaruh terhadap rantai makanan, dan spesies pemangsa serangga akan
menyusul punah. Dengan kata lain, serangga merupakan jantung rantai makanan.
Hewan kecil ini memiliki peran dalam penyerbukan tanaman, menjaga tanah tetap
sehat, mendaur ulang nutrisi, pengendali hama alami, dan sebagainya.
Baca juga : Halmahera dan Potensi Bioprospeksi yang Hilang
Akan tetapi, keberadaan serangga saat ini berada dalam ancaman
kepunahan. David Wagner, ahli entomologi di University of Connecticut, sebagaimana
dilansir majalah National Geographic Indonesia (05/20) mengatakan bahwa
penyebab semakin berkurangnya populasi serangga pada dasarnya karena terdapat
tujuh miliar manusia di planet ini. Dalam usaha menyediakan sandang, pangan,
papan, dan transportasi, manusia mengubah planet ini secara mendasar, menebang
hutan, membajak padang rumput, bertani monokultur, mencemarkan udara. Semua ini
menyebabkan stres bagi serangga dan hewan lainnya. Kita secara sadar sedang
menghadapi krisis keanekaragaman hayati.
Jauh
sebelum diskursus akan kepunahan serangga ramai diperbincangkan para ilmuwan
akhir-akhir ini. Rachel Carson, ahli biologi kelautan Amerika Serikat, telah
memikirkan hal tersebut. Kegelisahannya tertuang dalam karyanya Silent Spring yang terbit pada tahun
1962. Lewat bukunya, Silent Spring, Rachel
Carson menyampaikan ketakutannya akan penggunaan bahan-bahan kimia yang
digunakan untuk membunuh gulma, binatang pengerat dan organisme lain, termasuk
juga serangga yang dalam dunia pertanian dinyatakan sebagai “hama”.
Misalnya, dalam kondisi pertanian yang masih tradisional, masalah hama yang
harus dihadapi para petani tidak banyak. Masalah-masalah tersebut muncul
setelah adanya intensifikasi pertanian. Pada dekade-dekade terakhir dengan
diberlakukannya modernisasi dalam dunia pertanian, manusia menggunakan
insektisida secara masif. Dengan penggunaan bahan-bahan kimia sebagai
satu-satunya cara yang paling mudah untuk meningkatkan produksi pertanian,
spesies manusia telah melahirkan berbagai persoalan yang hingga hari ini terus
memberikan ancaman kehidupan seluruh mahluk hidup.
Penggunaan
bahan-bahan kimia untuk membasmi serangga, selanjutnya melahirkan efek domino
yang berpengaruh pada seluruh tatanan kehidupan mahluk hidup. Artinya jika kita
menghancurkan serangga yang merupakan dasar ekosistem, maka kita menghancurkan
semua hewan lain yang bergantung padanya sebagai sumber makanan. Hal ini
menandakan malapetaka bagi kelangsungan mahluk hidup di bumi, termasuk manusia.
Oleh para ilmuwan, fenomena yang terjadi hari ini ada kaitannya dengan proses
kepunahan massal keenam.
Baca juga : Revolusi Sebatang Jerami
Terkait dengan fenomena kepunahan massal yang sedang berlangsung. Elizabeth
Kolbert (2014) dalam bukunya The Sixth
Extinction (2020), menjelaskan bahwa setidaknya telah terjadi lima
kepunahan massal yang disebabkan oleh kekuatan astronomis atau geologis,
seperti perubahan iklim, erupsi gunung merapi, atau tabrakan meteor. Namun,
berbeda dengan lima kepunahan massal yang pernah terjadi sebelumnya, ancaman
kepunahan massal keenam yang saat ini sedang berlangsung hampir semuanya
disebabkan oleh aktivitas manusia.
Sebagaimana
dikatakan Paul Ehrlich, dilansir dari laman National Geographic Indonesia
(06/20), kepunahan massal keenam yang sedang berlangsung saat ini, harus
dianggap sebagai ancaman lingkungan paling serius terhadap keberlangsungan
peradaban. “Ketika manusia memusnahkan populasi dan spesies mahluk lain,
mereka secara tidak langsung telah menghancurkan ekosistem yang mendukung
kehidupan mereka sendiri”. Artinya, manusia merupakan aktor dibalik kepunahan
massal keenam yang sekarang sedang berlangsung, atau manusia merupakan penyebab
terjadinya “kiamat ekologis”.
Dengan
demikian, keterhubungan semua spesies di dunia melalui sistem yang kompleks
seperti jaring makanan, maka kepunahan suatu komunitas spesies akan menyebabkan
kehancuran seluruh ekosistem. Ketika kita kehilangan spesies serangga, berarti
kita kehilangan jenis-jenis spesies lain yang bergantung padanya. Jika ancaman
kepunahan serangga tidak dapat dihentikan, hal ini akan menimbulkan konsekuensi
bencana bagi ekosistem planet bumi dan untuk keberlangsungan kehidupan manusia
di dalamnya.
