Serangga sering kali dianggap sebagai makhluk kecil yang mengganggu kehidupan manusia. Bagi sebagian orang, keberadaan mereka identik dengan penyakit, hama tanaman, atau sesuatu yang harus dihindari. Namun, pandangan semacam itu tidak sepenuhnya benar.
Dalam konteks budaya di Indonesia, serangga justru
memiliki posisi yang unik dan beragam. Mereka bukan sekadar bagian dari
ekosistem alam, tetapi juga menyatu dalam kepercayaan, tradisi, simbolisme,
bahkan dalam kehidupan ekonomi dan kuliner masyarakat di berbagai daerah.
Jika ditelusuri lebih dalam, masyarakat Nusantara
sejak lama menjalin hubungan erat dengan alam, termasuk dengan serangga. Dalam
berbagai kebudayaan tradisional, serangga sering muncul dalam cerita rakyat,
mitos, dan simbol keagamaan.
Di Jawa, misalnya, kepik (Coccinellidae)
sering dianggap sebagai lambang keberuntungan. Saat kepik hinggap di tubuh
seseorang, orang itu dipercaya akan mendapat rezeki atau kabar baik. Pandangan
serupa juga ditemukan di beberapa daerah lain yang mengaitkan kehadiran
serangga tertentu dengan pertanda baik atau buruk.
Baca juga : Konservasi Sejak dalam Pikiran
Sementara itu, dalam kepercayaan masyarakat Bugis
dan Toraja, kumbang dan kupu-kupu kadang dianggap sebagai perwujudan roh
leluhur yang datang menengok keluarga. Ketika seekor kupu-kupu memasuki rumah,
orang tua biasanya akan berkata bahwa itu pertanda ada arwah nenek moyang yang
datang berkunjung.
Pandangan semacam ini menunjukkan betapa serangga
bukan hanya dipandang sebagai makhluk biologis, tetapi juga entitas simbolik
yang menghubungkan manusia dengan dunia spiritual.
Dalam tradisi beberapa masyarakat Indonesia,
serangga juga hadir dalam ritual atau upacara adat. Di Bali, misalnya, lebah (Trigona
spp.) kerap diasosiasikan dengan kesucian dan ketekunan.
Dalam upacara tertentu, madu hasil lebah digunakan
sebagai bagian dari sesaji, melambangkan kemanisan dan keseimbangan hidup. Madu
tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga memiliki makna spiritual sebagai
anugerah alam yang harus dijaga.
Sementara itu, di beberapa wilayah Kalimantan dan
Papua, masyarakat menggunakan serangga tertentu dalam ritual penyembuhan
tradisional. Beberapa jenis kumbang, jangkrik, atau semut digunakan sebagai
bahan ramuan atau simbol kekuatan alam yang diyakini mampu memulihkan energi
seseorang.
Hal ini mencerminkan pengetahuan ekologis yang diwariskan turun-temurun, di mana manusia memahami dan memanfaatkan serangga secara bijaksana dalam konteks budaya dan kesehatan.
Salah satu aspek menarik dari hubungan manusia dan
serangga di Indonesia adalah pemanfaatannya sebagai sumber pangan. Bagi
masyarakat modern, memakan serangga mungkin terdengar aneh.
Namun, bagi sebagian besar masyarakat tradisional,
ini adalah hal yang biasa. Di Gunungkidul, Yogyakarta, belalang goreng (Locusta
migratoria) menjadi camilan khas yang digemari. Rasanya gurih, renyah, dan
kaya protein.
Di Papua, masyarakat mengenal ulat sagu sebagai
makanan bergizi tinggi. Ulat ini hidup di batang pohon sagu dan dianggap
sebagai sumber energi yang penting, terutama bagi masyarakat yang hidup di
sekitar hutan dan rawa. Di Kalimantan, lebah madu dan larvanya juga dikonsumsi
sebagai sumber protein alami.
Fenomena ini menunjukkan bahwa serangga telah
menjadi bagian dari sistem pangan tradisional yang berkelanjutan, karena mereka
mudah dibudidayakan, membutuhkan sedikit lahan, dan memiliki nilai gizi tinggi.
Dalam seni dan sastra Indonesia, serangga kerap
diangkat sebagai simbol keindahan, kerja keras, dan ketekunan. Kupu-kupu,
misalnya, sering dijadikan metafora perubahan dan keabadian dalam puisi atau
lukisan.
Sementara lebah dikenal luas sebagai lambang kerja
sama dan disiplin, sebagaimana dapat dilihat dalam pepatah Jawa “urip
bebarengan koyo tawon, rame ing gawe, sepi ing pamrih” (hidup bersama
seperti lebah, ramai bekerja, sedikit menuntut pamrih).
Selain itu, beberapa kesenian daerah juga
terinspirasi dari perilaku atau bentuk serangga. Tari belalang (Gobok Balang) di
Nusa Tenggara Barat menggambarkan gerakan lincah serangga tersebut,
mencerminkan keharmonisan manusia dengan alam.
Batik Indonesia pun tidak luput dari pengaruh
bentuk-bentuk serangga. Motif kupu-kupu, capung, atau kumbang sering muncul
dalam kain batik sebagai simbol keindahan alam dan transformasi kehidupan.
Baca juga : Apakah Manusia Akan Punah?
Keterlibatan serangga dalam kehidupan budaya
Indonesia tidak hanya penting secara simbolik, tetapi juga memiliki nilai
ekologis dan ilmiah yang tinggi. Pengetahuan masyarakat lokal tentang jenis,
perilaku, dan manfaat serangga adalah bentuk local wisdom atau kearifan
lokal yang patut dilestarikan. Sayangnya, pengetahuan ini mulai tergerus oleh
modernisasi dan perubahan pola hidup masyarakat.
Hilangnya habitat alami akibat deforestasi,
urbanisasi, dan penggunaan pestisida kimia juga mengancam populasi serangga.
Padahal, serangga memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem,
seperti penyerbukan, dekomposisi bahan organik, dan pengendalian hama alami.
Kehilangan serangga berarti kehilangan sebagian penopang kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, melestarikan serangga berarti melestarikan warisan budaya dan ekologis bangsa.
Sebagai paragraf penutup, serangga dalam
konteks budaya Indonesia mencerminkan keterhubungan mendalam antara manusia dan
alam. Mereka tidak hanya hadir sebagai makhluk biologis, tetapi juga sebagai
simbol, sumber pangan, inspirasi seni, dan bagian dari sistem pengetahuan
lokal. Melalui pemahaman budaya tentang serangga, kita diajak untuk melihat
dunia kecil ini dengan cara yang lebih bijak dan penuh penghargaan.
Menghormati serangga berarti menghormati kehidupan
itu sendiri. Di tengah krisis lingkungan global dan perubahan ekologi yang
cepat, pandangan tradisional masyarakat Indonesia tentang serangga mengingatkan
kita bahwa harmoni antara manusia dan alam bukan sekadar warisan masa lalu – tetapi
fondasi penting bagi masa depan yang berkelanjutan.

Media Sosial