![]() |
| Sumber ilustrasi: pinterest.com |
Sagu memiliki sejumlah sifat yang menjadikannya tanaman yang tahan dan relevan untuk masa depan.
Nama “sagu” sering diasosiasikan dengan bahan pati yang
diperoleh dari empulur batangnya, yang bisa menjadi cadangan pangan penting
saat ketahanan pangan terganggu.
Pertanyaan apakah sagu akan punah
layak ditelaah dari tiga sudut: status konservasi biologis, ancaman yang
dihadapi habitat dan praktik manusia, serta upaya pelestarian dan adaptasi
sosial-ekonomi.
Dari sisi konservasi formal, spesies Metroxylon sagu tercatat
sebagai kategori Least Concern pada daftar merah
IUCN, artinya secara global populasinya belum mencapai ambang kepunahan saat
ini. Namun status ini tidak lantas membuat sagu kebal terhadap ancaman lokal
yang serius.
Baca juga : Food Estate: Petani Bisa Apa?
Ancaman utama yang sering
dilaporkan terhadap sagu bukanlah penyakit ganas yang membasmi seluruh spesies
sekaligus, melainkan perubahan penggunaan lahan dan hilangnya habitat rawa.
Konversi lahan untuk kelapa sawit, pertanian skala besar, penebangan, serta
reklamasi pesisir mengubah tutupan hutan rawa yang menjadi habitat alami sagu.
Perubahan ini berdampak pada ketersediaan lahan bagi populasi
sagu liar dan terhadap kualitas ekosistem yang menopang regenerasinya. Selain
itu, urbanisasi dan pergeseran pola konsumsi membuat pemanfaatan sagu di
beberapa daerah menurun, sehingga praktik budidaya tradisional dan pengetahuan
lokal rentan hilang.
Di sisi lain, sagu memiliki
sejumlah sifat yang menjadikannya tanaman yang tahan dan relevan untuk masa
depan: kemampuan menumbuh di lahan rawa yang tergenang, potensi produksi pati
tinggi per batang, serta fungsi ekosistem termasuk penyimpanan karbon yang
membantu mitigasi perubahan iklim.
Penelitian dan kajian lokal menunjukkan bahwa sagu bahkan
dipromosikan sebagai pangan berpotensi adaptif terhadap iklim karena relatif
tahan terhadap kondisi basah dan banjir dibanding tanaman semusim lain. Karena
itu, beberapa program memperkuat budidaya sagu dan mengembalikan fungsi lahan
rawa sebagai strategi ketahanan pangan dan mitigasi iklim.
Baca juga : Apakah Manusia Akan Punah?
Apakah sagu kemudian akan punah?
Kemungkinan punah secara global saat ini kecil menurut penilaian IUCN, tetapi
risiko lokal sangat nyata jika tekanan pada habitat dan pengetahuan tradisional
terus berlanjut.
Dengan kata lain, yang lebih mungkin terjadi bukan kepunahan
total, melainkan penurunan sebaran lokal,
berkurangnya keanekaragaman genetik di populasi tertentu, dan hilangnya peran
budaya sagu di komunitas yang beralih pola makan dan ekonomi. Kasus semacam ini
sudah tercatat pada beberapa spesies yang masih “aman” secara global tetapi
terancam pada skala lokal.
Solusi yang realistis untuk
menjaga sagu agar tidak “seakan punah” meliputi kombinasi pendekatan:
konservasi habitat (perlindungan dan restorasi lahan rawa), pengakuan dan
penguatan hak-hak masyarakat adat yang memelihara kebun sagu, penelitian dan
pemeliharaan varietas lokal untuk menjaga keragaman genetik, serta pengembangan
nilai tambah produk sagu agar ekonominya menarik bagi generasi muda.
Program-program yang mengaitkan sagu dengan mitigasi juga
membuka jalur pembiayaan konservasi melalui mekanisme pembayaran jasa
lingkungan.
Baca juga : Kisah Pohon terakhir
Sebagai paragraf penutup, sagu
tidak tampak berada di ambang punah global, tetapi masa depan fungsinya – sebagai
pangan, budaya, dan ekosistem – bergantung pada kebijakan pengelolaan lahan,
keberlanjutan praktik lokal, dan inovasi yang menjadikan sagu relevan secara
ekonomi di abad ke-21.
Jika kita ingin melihat sagu tetap hidup dan dimanfaatkan
generasi mendatang, perlindungan habitat dan penghargaan terhadap pengetahuan
lokal harus berjalan beriringan dengan upaya ilmiah dan kebijakan yang berpihak.

Media Sosial